R. KARTAWIBAWA, di buku ‘Bakda Mawi Rampog’ terbitan tahun 1928 menuliskan bahwa acara rampogan macan sering diselenggarakan pada abad 18 – 19. Rampogan ini sering diadakan Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta dan merupakan tradisi para ningrat. Di Kesunanan Surakarta, nampaknya sudah mulai ada sejak zaman Amangkurat II.
Paku Buwono X gemar mengadakan acara Rampogan Macan. Macan dan hewan-hewan liar lainnya memang sengaja dipelihara dalam kandang-kandang di sudut alun-alun.
Hewan liar ini adalah hasil buruan atau tangkapan dan nantinya akan dipagelarkan dalam acara Rampogan.
Acara dilaksanakan di alun-alun utara yang biasanya diadakan untuk menyambut tamu agung. Tamu agung ini biasanya adalah para pembesar dari penjajah Belanda seperti Gubernur Jenderal.
JAKARTA - Pada tahun 1912 saat Landrad di Mesteer Cornelis (sekarang pasar Jatinegara) memberlakukan peraturan yang berkaitan dengan keagrariaan yang pada zaman itu lebih dikenal dengan istilah Tuan Tanah. Jaan Ameen , Tuan Tanah untuk sub distrik Pasar Rebo kerap melayangkan pengaduan ke Landrad perihal tunggakan upeti hasil bumi penduduk Condet dinilai terlalu manja.
Pengaduan itu berakibat disitanya rumah-rumah dan tanah-tanah penduduk Condet, bahkan tak sedikit rumah penduduk yang dibakar. Aksi sewenang-wenang ini semakin merajalela. Penduduk mulai marah, dan puncak kekecewaan penduduk terjadi pada tahun 1914. Gubernemen menjatuhkan sanski pada seorang penduduk Condet untuk membayar denda sejumlah 7.20 Gulden atau kalau tidak pihak Gubernemen akan menyita semua miliknya. Penduduk Condet bertambah marah, ujar Yahya A Saputra, budayawan Betawi.