Dengan begitu, suasana dapat cair. Penceramah pun tidak mudah canggung berdiri di hadapan banyak orang. Guru pertama yang membimbing Zainuddin dalam seni retorika adalah KH Syukron Ma mun. Masyarakat Jakarta lebih mengenal tokoh ini sebagai pengasuh Pesantren Darul Rahman.
Bagi Zainuddin, gaya tutur sang kiai sederhana dan jelas dalam menyampaikan materi ceramah, sehingga mampu memikat atensi hadirin. Selain berguru secara langsung, Zainuddin juga mempe lajari autodidak cara berbahasa dan gaya pidato tokoh-tokoh nasional, terutama Buya Hamka (saat itu ketua umum Majelis Ulama Indonesia), KH Idham Chalid, dan presiden Sukarno.
Dari ulama Minangkabau itu, Zainuddin memahami betapa penting menyampaikan sesuatu yang sesuai hati nurani sendiri. Adapun dari Bung Karno, dia mengagumi ke li hai annya membangkitkan semangat para pendengar. Sedangkan dari KH Idham Chalid, Zainuddin belajar pentingnya logika dalam retorika dari mengkaji gaya pidato kiai NU tersebut.
Rumahnya terletak di suatu kawasan pinggiran kota yakni Gang Cemara, Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Se latan (Jaksel). Turmudzi bekerja sebagai pegawai biasa di Perusahaan Listrik Negara (PLN). Di samping itu, pria Betawi ini juga menyambi berdagang sayur-mayur. Istrinya mengurus rumah tangga.
Sayangnya, Turmudzi wafat ketika anak semata wayangnya itu masih berusia dua tahun. Sebagai yatim, Udin nama kecil Zainuddin diasuh kakek dan neneknya. Ibunya menikah lagi dengan seorang laki-laki yang terbilang sebaya ketika putranya itu berusia 17 tahun. Dari pernikahan ini, Zainabun memperoleh tiga anak laki-laki, yaitu Munazar, Ismunandar, dan Syahbuddin.